09 May 2010
Che Guevara Di antara Kita yang Ambigu
Empat puluh tiga tahun silam, 8 Oktober 1967, Che Guevara tertangkap. Satu hari kemudian, 9 Oktober 1967, ia dieksekusi secara ‘diam-diam’ oleh seorang sersan Bolivia, Mario Teran. Pria Argentina berdarah campuran Irlandia dan Basque itu gugur, di tempat ia ditembak secara tidak jantan, di sebuah ruang kelas sekolah berdinding tanah liat.
Guevara sosok langka. Sosok tak wajar. Ia orang Argentina tapi menjadi pahlawan Kuba. Ia pengidap asma, ringkih, namun justru memimpin gerilya. Ia orang asing (Argentina) yang pernah menjadi Menteri di sebuah negara lain (Kuba). Memang, ia menerima status kewarganegaraan istimewa dari sahabatnya Fidel Castro. Ia juga seorang pejabat sebuah negara berdaulat (Kuba), yang kemudian memilih kembali ke hutan untuk memimpin revolusi di negara lain (Bolivia). Fotonya, yang ‘diragadiamkan’ oleh Alberto Korda itu, menjadi foto yang paling banyak direpro dan dicetak ulang di seluruh di dunia. Ia seorang Guerrillero Heroico. Ia adalah ‘pahlawan’ lintasbangsa.
Che, sosok klandestein intelektual sekaligus panglima gerilyawan yang ekstrem. Karena itu ia menarik. Bagi orang-orang Kuba, yang mendadak menjadi lebih moderat setelah memenangkan revolusi, Che dianggap terlampau tegas; sulit berkompromi. Karena itu, meminjam ungkap Mas Goenawan Mohamad (dalam sebuah catatan pinggir pada tahun 1978), ia bukan tipe manusia hambar. Ia penikmat konfrontasi.
***
Paras Che melekat pada dada remaja dan pemuda-pemuda di Jakarta, di Bangkok, di Kuala Lumpur, di Frankfurt. Kecuali di Polandia, negara yang melarang wajah Che dijadikan sebagai ikon desain apapun, wajah Che melekat di banyak wahana: fashion, souvenir, juga monumen. Bahkan, wajah Che menjadi motif tatto.
Ketika pada 1997 Castro memutuskan menggali kuburan Che di Bolivia dan memindahkan tulang belulangnya ke Santa Clara di Kuba dalam sebuah parade militer akbar, dunia seolah kembali menemukan Che. Dunia kembali memperbincangkan ia. Siapa Che: anak dari keluarga borjuis yang menentang kelasnya sendiri?
Perlahan, ia menjadi ikon perlawanan, juga konfrontasi, sebagian lagi tentang radikalisme dalam bersikap. Tak hanya tentang marxisme atau komunisme, tapi juga dalam dunia di polar yang berbeda, tentang demokrasi. Di satu sisi, Che adalah simbol minoritas, di sisi lain ia digunakan sebagai ikon kelompok mayoritas. Karena itu ia tak diharamkan menjadi ikon kapitalisme terselubung. Wajahnya yang legendaris itu menjadi komoditas. Bahkan, ketika ekonomi Kuba melimbung, souvenir tentang Che adalah sumber devisa.
Memang, ada ambiguitas di sana. Ambigu yang serupa ketika Castro ‘terpaksa membiarkan’ Che diburu CIA di pedalaman Bolivia. Castro, yang mulai berkompromi dengan dua ‘raja’ papan catur dunia masa itu: Moscow dan Washington, tak ingin rencananya buyar karena hasrat konfrontasi Che yang melampaui kewajaran. Castro meng-ambigu karena ia terlanjur dianggap ‘banci’, bagi Che yang menyenangi kejantanan dan aksi.
***
Kini, memang bukan era 1960-an, ketika pertarungan ideologi adalah permainan yang mengasyikkan. Bagi mayoritas manusia sekarang, ideologi politik adalah masa lalu. Ideologi masa kini adalah konsumerisme. Karena itu uang menjadi fuhrer. Ini linier dengan proses yang sedang menjadikan masyarakat masa kini menjadi masyarakat yang ambigu–kata ini lebih lembut ketimbang munafikisme.
Benar, bahwa ada di antara kita, yang ketika berkaus dengan larik desain manusia penuh aksi, kejantanan, dan keteguhan macam Che itu karena termotivasi oleh semangat ia. Kita ingin meneladani ia. Atau jangan-jangan tidak?
Orang yang merangkai tulisan ini pun sering berada dalam kekhawatiran atas ambiguitas itu. Berapi-api tapi mudah padam. Menggebu-gebu dalam kemalasan. Karena ia bukan Che. Ia, dan mungkin juga Anda, adalah manusia mayoritas yang wajar. Karena itu hanya ada sedikit Che.
Ia, Ernesto ‘Che’ Guevara, adalah sosok yang tak wajar, yang hidup dalam ketakwajaran. Lagi-lagi ambiguitas berbicara: Wajar dan ketakwajaran adalah jalan hidup untuk menjadi mulia.
***
Tepat pada tanggal hari ini, 43 tahun silam, manusia tak wajar itu terciduk. Esok hari ia ditembak mati.
Ini bukan tentang imortalitas hidupku, aku sedang bertafakur tentang imortalitas revolusi, kata Che kepada Mario Teran, si eksekutor.
Ayo tembaklah aku, kau hanya akan membunuh seorang manusia, kata Che. Dan, ia pun pergi untuk selamanya, sembari menghadiahkan kepada kita sebuah kenangan tentang spirit untuk terus beraksi terhadap rezim yang tak adil. Ia benar, imortalitas revolusi adalah hadiahnya untuk dunia, meski hanya terpancar dari sebuah pin bergambar dirinya. Bukankah revolusi tak hanya tentang komunisme atau kudeta? Melawan diri sendiri untuk tak menjadi manusia yang terbelenggu ambigu dan munafikisme adalah juga revolusi, bukan?
Sumber
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment